Aku telah bicara terus terang dan andaikata engkau menolak sekalipun, aku tidak akan
memaksamu. Sekarang juga, kalau engkau menolak, akan kusediakan perahu untukmu. Nah, engkau yang memutuskan."
Tentu saja timbul keraguan hebat didalam hati Kwat Lin. Dia mengerti betapa lihainya Pat-jiu Kai-ong. Tentu
saja dapat pergi ke Bu-tong-pai dan melaporkan malapetaka yang menimpa Cap-sha Sinhiap itu kepada gurunya,
ketua Bu-tong-pai, Kui Bhok Sianjin. Akan tetapi, gurunya sudah tua sekali, dan belum tentu gurunya mau
mencampuri urusan dunia, biarpun murid-muridnya terbunuh. Mengandalkan para saudara seperguruan, agaknya akan
sukar mengalahkan Pat-jiu Kai-ong, dan terrutama sekali yang memperberat hatinya, kalau dia pergi ke
Bu-tong-pai, tentu semua orang akan tahu tentang malapetaka yang menimpa dirinya, bahwa dia telah diperkosa
oleh Pat-jiu Kai-ong. ke mana dia akan menaruh mukanya kalau semua orang mengetahuinya akan hal itu?
Sebaliknya, kalau dia berada di Pulau Es, selain tak seorang pun akan tahu tentang hal yang memalukan itu, juga
dia akan mempunyai kesempatan besar untuk melakukan balas dendam itu! Akan tetapi, benarkah pria di depannya
ini akan mampu mengajarnya sehingga dalam waktu setahun dia akan lebih pandai dari Pat-jiu Kai-ong? Dia tidak
akan puas kalau tidak dapat membunuh jembel iblis itu dengan tangannya sediri. Biarpun dia sudah banyak
mendengar nama besar Pangeran dari Pulau Es yang kini menjadi raja itu, namun bagaimana dia dapat membuktikan
kesaktianya? Apakah orang ini lebih lihai dari gurunya dan terutama sekali, lebih lihai dari Pat-jiu Kai-ong?
Perlahan-lahan Kwat Lin bangkit berdiri dan sejenak memandang kepada Han Ti Ong yang juga sedang memandangnya.
Keduanya berpandangan dan akhirnya Kwat Lin berkata, "Saya ingin sekali dapat membalas dendam dengan tangan
saya sendiri. Akan tetapi, bagaimanakah saya dapat yakin bahwa dalam setahun saya dapat belajar di sini dan
menangkan iblis itu?" Han Ti Ong tersenyum dan mengeluarkan sebatang pedang dari balik jubahnya. "Inilah pedang
yang kutemukan ketika aku dan muridku menolongmu." Kwat Lin menerima pedang itu dan air matanya turun bertitik
akan tetapi segera dihapusnya. Itulah Angbwe- kiam pedang dari twa-suhengnya! "Engkau meragu, baiklah.
Kaupergunakan pedangmu dan kauserang aku untuk menguji apakah aku dapat melatihmu selama setahun sehingga kau
lebih lihai daripada Pat-jiu Kai-ong." Kwat Lin menimang-nimang pedang Ang-bwe-kiam di tangannya. Pat-jiu
Kai-ong telah dikeroyok oleh dia dan dua belas orang suhengnya. Mereka telah mainkan Ngo-heng-kiam, bahkan
telah membentuk barisan Sin-kiam-tin ketika mengeroyok kakek iblis itu namun akhirnya mereka semua kalah,
sungguhpun sejenak kakek itu terdesak. kini, kalau hanya dia seorang diri menyerang raja ini, mana bisa dipakai
ukuran apakah dia lebih lihai dari Pat-jiu Kai-ong? "Nona, jangan ragu-ragu. Percayalah, kalau engkau benar
rajin belajar, dalam waktu setahun engkau pasti akan dapat mengalahkan dia. Hiat-ciang Hoat-sut dan
Pat-mo-tung-hoat dari kakek itu sebetulnya kosong saja," kata raja itu, seolah-olah dapat membaca isi hati
Kwat-lin. Dara itu terkejut, kemudian mengambil keputusan untuk menguji orang ini sebelum dia menyerahkan
dirinya yang sudah ternoda itu menjadi istrinya sebagai penebus latihan ilmu untuk membalas dendam. "Baiklah,
saya akan menguji kepandaian Paduka, harap Paduka bersiap dan mengeluarkan senjata." "Ha-ha-ha, Pat-jiu Kai-ong
membutuhkan tongkatnya dan pukulan beracunya untuk mengalahkan Cap-sha Sin-hiap, akan tetapi aku cukup
menggunakan ini." Dia meraih kebawah dan tanganya sudah membentuk batu karang sedemikian rupa sehingga batu
karang itu berbentuk panjang seperti pedang! "Harap Paduka siap!" Kwan Lin berseru dan tiba-tiba pedangnya
menyambar dengan cepat, melakukan tusukan ke arah leher sedang tangan kirinya sudah memukul ke arah dada.
Serangan berganda dengan pedang dan pukulan tangan kiri ini merupakan jurus hampuh dari Ngo-heng-kiam-sut.
Tiba-tiba tubuh raja itu bergerak, serangan Kwat Lin telah dapat dielakkan dan pada detik berikutnya, leher
dara itu tersentuh ujung batu karang dan dadanya juga tersentuh kepalan tangan kiri Han Ti Ong. Kwat Lin
menjerit lirih karena maklum bahwa kalau tusukan batu dan pukulan tadi dilanjutkan oleh Han Ti Ong tentu dia
telah roboh dan tewas seketika. Akan tetapi yang lebih mengejutkan hatinya adalah gerakan raja itu. "Paduka...
Paduka mengunakan jurus Hui-po-liu-hong (Air Tumpah Muncrat Pelangi Melengkung) dari Ngo-heng-kiam-sut
Bu-tong-pai!" Han Ti Ong tersenyum, "Persis sekali dengan seranganmu tadi, akan tetapi jauh lebih lihai karena
sekali serang berhasil, bukan? Nah, kalau engkau memiliki kesempurnaan dalam jurus ini tadi, bukankah mudah kau
mengalahkan musuhmu? Kwat Lin tertegun, akan tetapi dia masih belum puas. "Saya ingin mencoba lagi!" "Boleh,
boleh. kauseranglah aku sepuluh jurus yang paling lihai dan aku tanggung bahwa engkau akan kukalahkan dengan
jurusmu yang sama." Dengan pengerahan tenaga dan memilih jurus-jurus terampuh, Kwat Lin menyerang lagi, akan
tetapi setiap kali menyerang satu jurus, dia menjerit lirih karena benar saja, dia selalu dikalahkan oleh
jurusnya sendiri.
Jumat, 02 November 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar