Minggu, 04 November 2012

BUKEK SIANSU (43)

Agaknya permaisuri Raja Han Ti Ong sekarang ini ingin pula melihat pengadilan dilakukan di Pulau Es. Para pesakitan yang sudah berlutut di depan meja, di atas lantai, hanya tiga orang. Seorang lakilaki tinggi besar penuh brewok yang matanya lebar dan gerak-geriknya kasar, seorang laki-laki muda yang tampan dan seorang wanita yang usianya empat puluhan, namun masih cantik dan wanita ini berlutut di samping laki-laki muda yang kelihatan ketakutan, tidak seperti laki-laki tinggi besar dan Si Wanita yang kelihatan tenang-tenang saja. Dengan suara lantang jaksa penuntut membacakan tuntutan kepada laki-laki tinggi besar yang sudah berlutut ke depan setelah namanya dipanggil, yaitu Bouw Tang Kui. Bouw Tang Kui telah berkali-kali diperingatkan karena sikapnya yang kasar, suka menggunakan kepandaian menghina yang lemah dan suka mencuri. Terakhir ditangkap karena melakukan pencurian,mengambil batu hijau mustika penyedot racun ular milik orang lain. Karena kejahatanya membahayakan Pulau Es, dapat menimbulkan kekacauan dan permusuhan, maka hukuman yang paling berat patut dijatuhkan atas dirinya, selain untuk memberantas kejahatan dari permukaan pulau juga sebagai contoh kepada semua penghuni pulau." Hening sejenak, kemudian terdengar suara hakim tua yang lemah dan agak gemetar, "Bouw Tang Kui, kau sudah mendengar tuduhan atas dirimu. Kau diperkenankan membela diri." Bouw Tang Kui yang berlutut itu memberi hormat kepada raja, kemudian dengan suaranya yang kasar dan nyaring berkata,"Hamba mengaku telah melakukan perbuatan itu karena hamba ingin memiliki mustika batu hijau. Hamba telah menerima banyak budi dari Sri baginda, kalau sekarang dianggap berdosa, hamba siap menerima segala macam hukuman yang dijatuhkan kepada hamba." Hakim berfikir sejenak, kemudian sambil mengetok meja dia berkata, "Pengadilan memutuskan hukuman buang ke Pulau Neraka kepada Bouw Tang Kui." Suasana menjadi hening. Keputusan hukuman ini merupakan yang lebih hebat dari pada penggal kepala. Banyak di antara mereka yang mendengarkan, menahan nafas dengan muka pucat, ada yang menaruh hati kasihan kepada Bouw Tang Kui. Akan tetapi pesakitan itu sendiri setelah memandang kepada raja, lalu berkata, suaranya penuh pahit getir, "Hukuman apa pun bagi hamba tidak terasa berat, yang terasa berat adalah bahwa hamba dipaksa untuk memusuhi Pulau Es yang hamba cintai!" "Jadi engkau menerima keputusan hukuman?" hakim bertanya. "Hamba mene...." "Nanti dulu!!" tiba-tiba terdengar suara nyaring dan Han Ti Ong sendiri mengangkat muka memandang tajam ketika melihat Sin Liong telah berdiri dari kursinya dan mengeluarkan seruan itu. "Harap Suhu dan para Cu-wi sekalian maafkan saya. Akan tetapi pesakitan berhak untuk dibela dan saya hendak membelanya. Saudara Bouw Tang Kui ini dianggap berdosa dan memang dia telah melakukan pelanggaran. Akan tetapi patutkah kalau kesalahannya itu lalu dijadikan tanda bahwa dia seorang jahat yang tidak bisa diampuni lagi? Saya hendak bertanya, siapakah di antara Cu-wi sekalian yang tidak pernah melakukan kesalahan?" "Semua manusia pasti pernah melakukan kesalahan dan karena kita semua manusia, maka kita pun tentu pernah melakukan kesalahan. Siapakah yang mau kalau kesalahan yang dilakukannya itu lalu dijadikan tanda bahwa selamanya dia akan bersalah atau berdosa, dan patut dihukum tanpa ampun lagi? Kesalahan yang dilakukan oleh Bouw Tang Kui adalah sebuah penyelewengan biasa yang dilakukan oleh manusia yang berbatin lemah. Manusia yang berbatin lemah dan melakukan penyelewengan sama saja dengan seorang yang sedang menderita semacam penyakit, hanya bedanya, yang sakit bukan tubuhnya melainkan hatinya. Akan tetapi, setiap orang sakit bisa sembuh! Maka, menghukumnya dengan hukuman keji itu sama dengan membunuhnya!" Hening sekali keadaan di situ setelah pemuda tanggung ini mengeluarkan pembelaanya. "Akan tetapi di sini sudah diadakan hukum sejak ratusan tahun dan kita semua harus tunduk kepada hukum!" kata Han Ti Ong ketika melihat betapa hakim ragu-ragu untuk menjawab. Dia maklum bahwa Sin Liong disuka banyak orang di situ, dan selain ini, agaknya para pejabat itu juga sungkan mendebat karena pemuda itu adalah murid raja. Karena inilah maka Han Ti Ong sendiri yang mengeluarkan suara membantah. "Harap Suhu memaafkan teecu kalau teecu terpaksa mendebat. Saudara Bouw melanggar hukum yang dianggap berdosa, lalu menurut hukum harus dibuang ke Pulau Neraka. Dari manakah timbulnya pelanggaran yang disebut dosa? Kalau tidak ada hukum, mana mungkin ada dosa? Kalau tidak ada larangan, mana mungkin ada pelanggaran? Hukumlah yang menciptakan dosa dan pelanggaran, hukum adalah keji karena hukuman yang dijatuhkan sebetulnya lebih kotor daripada dosa itu sendiri! Kalau dia dianggap bersalah lalu dibuang ke Pulau Neraka, bukankah hal itu membuat dia menjadi makin jahat dan mendendam? Andaikata seorang penderita sakit, penyakitnya menjadi makin parah! Apakah hukuman pembuangan ke Pulau Neraka itu akan menginsafkannya?

0 komentar:

Posting Komentar