Dan pada suatu hari terjadilah suatu hal yang sudah lama diduga-duga akan terjadi hal yang menjadi akibat
daripada keadaan yang ditekan-tekan di dalam istana yang dimulai dengan masuknya The Kwat Lin yang kini telah
menjadi permaisuri itu ke Pulau Es. Pagi hari itu, Sin Liong tengah duduk seorang diri di tempat yang menjadi
tempat kesukaannya bersama Swat Hong, yaitu di tepi pantai yang paling sunyi, pantai yang tak pernah tertutup
salju karena pasir berwana putih yang terjadi dari pecahan batu karang dan segala macam kulit kerang dan
kepompong itu seolah-olah selalu mengeluarkan hawa hangat. Selagi dia duduk termenung itu terdengarlah olehnya
suara tabur dipukul gencar, tanda bahwa pagi hari itu diadakan persidangan pengadilan yang amat penting, sidang
yang diadakan kurang lebih tiga bulan semenjak tiga orang pesakitan terakhir itu di buang ke Pulau Neraka.
Suara tambur itu seolah-olah menghantami isi dada Sin Liong, karena suara itu suara yang paling tidak
disukainya, suara yang menandakan bahwa akan ada orang lagi yang dihukum! Maka dia tidak bergerak, mengambil
keputusan tidak akan menonton karena menonton berarti hanya akan menghadapi hal yang menyakitkan hatinya. Akan
tetapi dia meloncat bangun ketika mendengar suara panggilan Swat Hong, suara panggilan yang lain dari biasanya
karena suara dara itu mengandung isak tangis yang mengejutkan. "Kwa-suheng...!!" Sin liong terkejut melihat
dara itu berlari-lari kepadanya sambil menangis dan dengan wajah yang pucat sekali. "Ada apakah, Sumoi?"
tegurnya sebelum dara itu tiba di depannya. "Suheng..., celaka... Ibuku..."Biarpun hatinya berdebar penuh kaget
dan kejut, Sin Liong bersikap tenang ketika di memegang kedua pundak Sumoinya dan bertanya, "Ada apakah dengan
Ibumu? Tenanglah, Sumoi." "Swat Hong menahan isaknya. "Mereka... mereka menangkap Ibuku dan membawanya ke
sidang pengadilan..." Sin Liong mengerutkan alisnya. Sudah keterlaluan ini, pikirnya. Rasa penasaran membuat
dia berlaku agak kasar. Digandengnya tangan Sumoinya, ditariknya dara itu dan dia berkata , "Mari kita lihat!"
Ketika dua orang itu tiba di ruangan pengadilan, mereka mendapat kenyataan bahwa keadaan berlainan sekali
dengan sidang pengadilan yang sudah-sudah karena suasana amat sunyi. Tidak ada seorang pun diperbolehkan
mendekati ruangan pengadilan, bahkan ketika Sin liong dan Swat Hong tiba disitu, mereka dihadang oleh beberapa
orang penjaga, "Maaf, atas perintah Sribaginda, tidak ada yang boleh memasuki ruang sidang pengadilan hari
ini." Kata mereka. Dengan kedua tangan di kepal, Swat Hong melompat maju, matanya melotot dan mukanya merah
sekali, "Apa kalian bilang? Kalian berani melarang aku memasuki ruangan? Apakah kalian sudah bosan hidup?" Sin
Liong cepat memegang lengan sumoinya karena dia maklum bahwa kalau sumoinya ini sudah marah, tentu akan hebat
akibatnya. Juga para penjaga itu mundur ketakutan karena mereka mengerti betapa lihainya Sang Puteri ini.
"Harap Saudara sekalian melaporkan kepada atasan Saudara bahwa kami akan memasuki ruang sidang," kata Sin Liong
dengan tenang kepada para penjaga. "Akan tetapi kami hanya mentaati perintah. Bagaimana kami berani melanggar?"
jawab kepala penjaga dengan muka bingung. "Aku tahu. Ibuku yang diadili, Bukan? Nah, dengar kalian! Apa pun
yang akan terjadi dengan ibuku, aku harus hadir, kalau perlu aku akan bunuh kalian semua agar dapat masuk!"
Kembali Swat Hong membentak. "Saudara sekalian harap mundur dan biarkan kami masuk. Akibatnya biarkan kami
berdua yang menanggungnya,"kembali Sin Liong berkata dan keduanya memaksa masuk. Para penjaga tidak ada yang
berani melarang akan tetapi mereka cepat-cepat lari untuk melapor kedalam. Han Ti Ong mengerutkan alisnya
ketika melihat Sin Liong dan Swat Hong memasuki ruang sidang, akan tetapi dia hanya mengangguk kepada para
penjaga yang kebingungan. Hal ini melegakan hati para penjaga dan mereka cepat-cepat meninggalkan ruangan itu
untuk menjaga di luar, karena mereka pun tidak boleh mendengarkan sidang yang sedang mengadili isteri raja!
Dapat dibayangkan betapa hancur hati Swat Hong melihat ibunya dengan tenang berlutut di depan meja pengadilan
bersama seorang laki-laki muda yang berpakaian sebagai pelayan dalam istana. Hatinya menduga dan dia merasa
ngeri karena melihat ibunya dan pemuda itu berlutut di situ, dia seolah-olah melihat Sia Gin Hwa dan Lu Kiat,
dua orang pesakitan yang saling berjinah itu! Akan tetapi dia tidak percaya! Tak mungkin ibunya...! Akan tetapi
dia menjadi lemas dan menurut saja ketika Sin Liong menariknya dan mengajaknya duduk dideretan kursi pinggiran
yang sekali ini sama sekali kosong. Di belakang meja panjang hanya duduk jaksa, hakim, Raja Han Ti Ong ,
permaisurinya, dan Han Bu Ong, bocah berusia delapan tahun yang mengenakan pakaian indah dan duduk dengan
agungnya di dekat ibunya, matanya memandang kearah Sin Liong dan Swat Hong dengan angkuh.
Senin, 05 November 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar