Senin, 05 November 2012

BUKEK SIANSU (46)

Kemudian terdengarlah suara nyaring Sang Jaksa, suara yang bagi telinga Swat Hong terdengar seperti sambaran pedang yang menusuk-nusuk hatinya dan bagi Sin Liong seperti guntur di tengah hari! "Liu Bwee, sebagai bekas istri Sribaginda, dari seorang anak nelayan biasa menjadi seorang mulia terhormat, ternyata membalas budi Sribaginda dengan aib dan noda yang hina, telah ditangkap karena melakukan perjinahan dengan seorang pelayan muda. Dosa ini amat besar karena selain menimbulkan aib dan malu kepada Sribaginda, juga kalau diketahui dunia luar akan mencemarkan nama Kerajaan Pulau Es. Oleh karena itu, sepatutnya dia dijatuhi hukuman yang seberat mungkin." "Bohong...! Ibu tidak mungkin...." Swat Hong menjerit dan hendak melompat maju menyerang jaksa yang berani mengeluarkan ucapan menuduh ibunya seperti itu akan tetapi Sin Liong menangkap lengannya untuk mencegah sumionya bergerak. "Swat Hong! Berani engkau kurang ajar di depan Ayah?" Terdengar Han Ti Ong membentak dengan penuh wibawa. "Ayah, tuduhan itu fitnah belaka! Tidak mungkin ibu melakukan hal yang kotor itu. Mana buktinya? Siapa saksinya?" kembali Swat Hong menjerit-jerit. "Hong-ji, jangan begitu. Ibumu tidak berdosa, akan tetapi kita harus. tunduk kepada peraturan dan hukum, anakku.Tenanglah." Ucapan ini keluar dari mulut Liu Bwee yang menoleh kearah Swat Hong, suaranya lirih dan jelas, namun mengandung kedukaan yang merobek hati. "Liu Bwee, engkau telah mendengar tuduhan atas dirimu. Apakah pembelaanmu?" terdengar suara hakim tua itu dengan halus dan lirih seperti biasanya, namun penuh wibawa karena dalam sidang ini, dialah orang yang paling kuasa. "Saya tidakakan membela diri, hanya seperti dikatakan anakku tadi, agar tidak mendatangkan penasaran, harap suka disebutkan siapa saksinya dan apa buktinya yang memperkuat tuduhan terhadap diriku," kata Liu Bwee dengan tenang dan suara halus. Jaksa yang termasuk orang di antara anggauta keluarga raja yang tidak senang kepada Liu Bwee karena dia dahulupun mengharapkan agar Han Ti Ong memilih anak perempuannya, segera berkata lantang, "Buktinya? Engkau ditangkap ketika berada di dalam kamar dengan A Kiu, padahal dia bukanlah pelayanmu. Apalagi yang kalian kerjakan kalau bukan berjinah? Seorang wanita dan seorang laki-laki yang tidak ada hubungan apa-apa berada di dalam kamar berdua saja! selain itu, perjinahan kalian juga telah ada yang menyaksikan." Wajah Swat Hong sebentar pucat dan sebentar merah. Tak dapat dia menahan kemarahanya. Ibunya dituduh berjinah dengan seorang pelayan! "Bohong! itu bukan bukti!! Kalau memang ada yang menyaksikan, hayo siapa yang menyaksikan?" teriaknya, tidak memperdulikan cegahan Sin Liong yang masih memegang lengannya karena khawatir kalau-kalau dara ini mengamuk. "Akulah saksinya!" tiba-tiba terdengar suara kecil merdu dan Han Bu Hong telah bangkit berdiri dengan sikap menantang. Mulut anak ini tersenyum mengejek dan matanya bersinar-sinar. "Enci Hong, akulah yang telah melihat ibumu dan pelayan itu di atas ranjang...." "Ssssttt, diam...!" Permaesuri menarik puteranya. Akan tetapi hakim telah berkata lagi, "Sudah terbukti kesalahan besar yang dilakukan Liu Bwee. Kesalahan paling besar yang dapat dilakukan oleh seorang wanita..." "Nanti dulu!" Dengan muka pucat sekali Swat Hong memotong kata-kata hakim. "Tidak adil kalau begini! kita belum mendengar keterangan A Kiu. Hai, A Kiu, aku percaya bahwa engkau seorang manusia yang menjujur kegagahan, tidak mungkin seorang pria penghuni Pulau Es Seperti engkau menjatuhkan fitnah sebagai seorang pengecut hina dina. Hayo ceritakan sesungguhnya apa yang terjadi!" Suara Swat Hong ini nyaring sekali dan muka A Kiu menjadi pucat, kepalanya makin menunduk. Suasana menjadi hening dan akhirnya terpecah oleh suara Raja, "A Kiu, kau diperkenankan untuk bicara!" Tubuh itu menggigil, muka yang tampan itu pucat sekali ketika diangkat memandang Raja, kemudian melirik ke arah Liu Bwee yang masih bersikap tenang dan agung berlutut di sebelahnya. Ketika dia melirik ke arah Swat Hong yang berdiri dengan sikap angkuh memandang kepadanya, A Kiu mengeluh lirih, kemudian menelungkup dan berkata dengan suara mengandung isak, "Hamba tidak berdaya... hamba memang berada di kamar itu... tapi... tidak seperti kesaksian Pangeran kecil... hamba terpaksa karena..." "Berani kau mengatakan puteraku bohong?" Jeritan ini keluar dari mulut permaisuri dan hawa pukulan yang dahsyat sekali menyambar ketika permaisuri menggerakan tangan kirinya ke arah A Kiu.

0 komentar:

Posting Komentar