Yang ada hanya naluri untuk menyelamatkan diri, menjaga sekuat tenaga
agar perahu mereka tidak sampai terguling dan tangan mereka tidak sampai terlepas memegangi pinggiran perahu.
Dengan tangan kanan memegang pinggiran perahu, tangan kiri Sin Liong memegang lengan kanan sumoinya. Betapapun
juga, dia tidak akan melepaskan sumoinya! Swat Hong yang biasanya tabah dan tidak mengenal takut itu, sekali
ini menangis dengan muka pucat dan mata terbelalak. Terlampau hebat keganasan air laut baginya, terlampau
mengerikan melihat gelombang setinggi gunung yang seolah-olah setiap saat hendak mencengkram dan menelannya
itu! Tiba-tiba Swat Hong menjerit. Segulung ombak besar datang dan menelan perahu itu. Mereka gelagapan karena
ditelan air, kemudian mereka merasa betapa perahu mereka dilambungkan ke atas. "Brukkk...!" Keduanya terpental
keluar, akan tetapi masih saling bergandeng tangan. Cepat Sin Liong menyapu mukanya agar kedua matanya dapat
memandang. Ternyata perahu mereka telah dilontarkan ke sebuah pulau kecil yang penuh batu karang, sebuah pulau
yang menjulang tinggi akan tetapi hanya kecilkecil sekali, merupakan sebuah batu karang besar yang menonjol
tinggi. "Sumoi, lekas..., kita naik ke sana...!!" Sin Liong tidak mempedulikan tubuhnya yang terasa sakit
semua, membantu sumoinya merangkak bangun. Pipi kanan dan lengan kiri Swat Hong berdarah, akan tetapi gadis itu
pun agaknya tidak merasakan semua ini, tersaruk-saruk dia dibantu suhengnya merangkak dan menyeret perahu ke
atas, kemudian mereka melanjutkan pendakian ke atas puncak batu karang itu dengan susah payah. Akhirnya mereka
tiba di puncak batu karang dan apa yang tampak oleh mereka dari tempat tinggi ini benar-benar menggetarkan
jantung. Air di sekeliling mereka. Air yang menggila, bergerak berputaran, gelombang yang dahsyat menggunung,
suara yang gemuruh seolah-olah semua iblis dari neraka bangkit. Batu karang besar , atau lebih tepat disebut
pulau kecil dari batu itu tergetar-getar, seolah-olah menggigil ketakutan menghadapi kedahsyatan badai yang
mengamuk. Tidak tampak apa-apa pula selain air, air dan kegelapan, kadang-kadang diseling cahaya menyambar dari
atas, seperti lidah api seekor naga yang bernyala-nyala, "Ouhhhh..!" Swat Hong menangis dan cepat dipeluk oleh
suhengnya. Tubuh dara itu menggigil, pakaiannya robek-robek. "Tenanglah... tenanglah, Sumoi...." Sin Liong
berbisik dan pemuda ini mengerti bahwa bukan hanya sumoinya yang disuruhnya tenang, melainkan hatinya sendiri
juga! Pengalaman ini sungguh dahsyat dan tidak mungkin dapat terlupa selama hidupnya. Kebesaran dan kekuasan
alam nampak nyata. membuat dia merasa kecil tak berarti, kosong dan remeh sekali! Sin Liong dan Swat Hong yang
dipeluknya tidak tahu lagi berapa lamanya mereka berada di tempat itu. Siang malam tiada bedanya, yang tampak
hanya kegelapan, air, dan kadang-kadang kilatan cahaya halilintar. Yang terdengar hanyalah gemuruh air, angin
menderu, dan kadang-kadang ledakan halilintar. Tidak memikirkan dan merasakan apa-apa, yang ada hanya takjub
dan ngeri! Di luar tahunya dua orang itu, mereka telah berada di pulau batu karang selama sehari semalam!
Akhirnya badai mereda, badai yang ditimbulkan oleh ledakan gunung berapi di bawah laut! Kegelapan mulai
menipis, akhirnya tampak kabut putih bergerak perlahan meninggalkan tempat itu, air mulai tenang dan menurun,
akhirnya tampaklah sinar matahari disusul oleh bola api itu sendiri setelah kabut terusir pergi. Tampaklah
lautan luas terbentang di bawah dan baru sekarang ternyata oleh dua orang muda itu bahwa mereka duduk dipuncak
batu karang yang amat tinggi! Swat Hong mengeluh, baru terasa betapa penat tubuhnya, betapa luka-luka kecil
dari kulitnya yang lecet-lecet, dan betapa haus dan lapar leher dan perut! "Sumoi, badai sudah mereda. Mari
kita turun. Aihh, itu perahu kita. Untung tidak pecah," kata Sin Liong dan dia menggandeng tangan sumoinya,
menuruni batu karang. Perahu mereka tidak pecah, akan tetapi layar dan dayungnya lenyap. Sin Liong mengangkat
perahu itu, membawanya turun kebawah. "Mari kita lekas pulang, Sumoi. Biar kudayung dengan kedua tangan." Swat
Hong duduk didalam perahu, mengeluh lagi dan berkata penuk kegelisahan, "Bagaimana dengan Pulau Es? Badai
mengamuk demikian hebatnya, Suheng." Aku tidak tahu, mudah-mudahan mereka selamat. Maka, kita harus cepat
pulang." dia lalu menggunakan kedua tangannya yang kuat sebagai dayung. Perahu bergerak, meluncur di atas air
yang tenang dan licin seperti kaca, sama sekali tidak ada tanda-tanda di permukaan air bahwa air itu telah
mengamuk sedemikian hebatnya baru-baru ini. Tak lama kemudian Sin Liong medapatkan dayung yang dipatahkan dari
batang pohon yang hanyut di air. Agaknya pulau-pulau kecil disekita tempat itu telah diamuk badai sedemikian
hebatnya sehingga pohon-pohon tumbang dan terbawa air. Setelah keadaan cuaca terang kembali, Sin Liong dapat
menentukan arah perahu dan tak lama kemudian tampaklah Pulau Es dari jauh. Kelihatannya masih seperti biasa,
sebuah pualu keputihan memanjang di kaki langit, berkilaun tertimpa sinar matahari. Hati mereka lega. Dari jauh
kelihatannya tidak terjadi perubahan di pulau itu. Setelah agak dekat, mereka melihat pula puncak atap istana
di Pulau Es, maka legalah hati mereka. Hati Sin Liong mulai berdebar tegang ketika perahunya sudah menepel di
Pulau Es. Keadaannya begitu sunyi. Sunyi dan mati! Tidak kelihatan seorang pun di pantai, bahkan tidak tampak
sebuah perahu pun. Dan bukit-bukit es tidak seperti biasanya, kacau balau tidak karuan dan berubah bentuknya!
Dengan hati tidak enak kedua orang muda itu belari-lari ketengah pulau. Makin ke tengah, makin pucat wajah
mereka. Tidak ada seorang pun kelihatan, dan juga pondok-pondok yang biasanya terdapat di sana-sini, sekarang
habis sama sekali. Tidak ada sebuah pun pondok yang tampak! Seolah-olah semua telah disapu bersih, tersapu
bersih dari pulau itu. "Auhhhh...!" Swat Hong berdiri dengan muka pucat, kedua kakinya menggigil. "Mari kita ke
istana, Sumoi!" Sin Liong yang berkata dengan suara bergetar lalu menyambar lengan sumoinya dan diajaknya dara
itu lari ke dalam istana. Beberapa kali terdengar Swat Hong mengeluarkan seruan tertahan, dan Sin Liong juga
kaget bukan main. Mereka seperti memasuki sebuah kuburan! Sunyi, kosong, dan tidak ada bekas-bekasnya tempat
itu didiami manusia! Habis sama sekali, baik prabot-prabotan istana maupun manusia-manusianya! Tidak tertinggal
sepotong pun benda atau seorang pun manusia. Habis semua! Ke mana pun mereka lari dan berteriak-teriak
memanggil, yang terdengar hanya gema suara mereka sendiri! "Oughhh...!!" Swat Hong tidak menahan himpitan
perasaan yang ngeri dan berduka, tubuhnya tergelimpang dan tentu akan terbanting kalau tidak cepat disambar
oleh Sin Liong. "Sumoi...!" Akan tetapi suara ini kandas dikerongkongannya dan tanpa disadari pula, kedua pipi
Sin Liong basah oleh air matanya yang mengalir deras menuruni kanan kiri hidungnya ketika dia memondong tubuh
sumoinya yang pingsan itu ke dalam kamar. Akan tetapi dia termangu-mangu ketika tiba di ambang pintu kamar yang
terbuka, karena kamar itu pun kosong dan bersih, tidak ada sebuah atau sepotong pun prabotannya. terpaksa dia
merebahkan tubuh sumoinya di atas lantai, dan dia sendiri merebahkan kepala diatas kedua lututnya sambil
menangis. terlampau hebat peristiwa yang dihadapinya. Pulau Es telah disapu bersih oleh badai! Bersih sama
sekali sehingga agaknya tidak ada seorang pun manusia yang tertolong, tidak ada sepotong pun barangnya yang
tinggal, kecuali bangunan istana yang memang amat kuat itu. Setelah siuman, Swat Hong menangis, "Aih,
mengapa..? Mengapa...? ayah, kasihan sekali Ayah...!" Akhirnya Sin Liong dapat menghibur dan membujuknya.
Mereka berdua lalu mengadakan pemeriksaan dan mendapat kenyataan bahwa benar-benar Pulau Es telah diamuk badai.
Agaknya air laut telah naik sedemikian tinggi sehingga pulau itu teredam air. Mereka menemukan beberapa potong
pakaian yang tersangkut di batu-batu dan dengan hati terharu penuh kedukaan mereka mengumpulkan pakaian itu,
entah punya siapa, sebagai barang peninggalan yang amat berharga. Kemudian mereka memeriksa istana. Memang ada
beberapa benda yang masih tertinggal di dalam kamar di bawah tanah, akan tetapi yang berada di atas, semua
habis dan lenyap. "Suheng, lihat ini...!" tiba-tiba Swat Hong berkata sambil menunjuk ke dinding. Sin Liong
cepat menghampiri dan keduanya mengenal goresan tangan Han Ti Ong yang agaknya menggunakan jari tangan yang
penuh tenaga sinkang untuk menulis di dinding batu itu! "Sin Liong dan Swat Hong, maafkan aku. Thian telah
menghukum aku dan membasmi Pulau Es. Pergilah kalian mencari wanita jahat itu, rampas kembali semua pusaka. Dan
Bu Ong bukanlah puteraku, dia keturunan Ki-ong." Pendek saja "surat dinding" itu, namun cukup jelas isinya. Sin
Liong menarik napas panjang. Kasihan dia kepada suhunya yang mati meninggalkan dendam itu! "Suheng lihat
ini..." Tak jauh dari tulisan itu terdapat bekas jari-jari tangan mencengkram dinding. Mudah saja mereka
menggambarkan keadaan Han Ti Ong dan keduanya tak dapat menahan tangis mereka. Agaknya, dalam menghadapi amukan
badai, Han Ti Ong berhasil menggunakan tenaganya untuk mempertahankan diri beberapa lamanya dengan mencengkram
dinding dan sempat pula membuat tulisan itu sebelum kekuatan yang jauh lebih besar dari pada kekuatanya
menyeret keluar dari istana dan bahkan dari pulau itu! "Kasihan sekali suhu..." Sin Liong menghapus air
matanya. Swat Hong mengepal tinjunya. "Aku akan mencari perempuan iblis itu, selain merampas kembali pusaka
Pulau Es,juga menghukumnya! Dialah yang mencelakakan ibuku, yang mencelakakan Ayahku!" Sin Liong menarik napas
panjang. Sudah diduganya ini. Tentu akan terjadi balas-membalas. Dendam tak kunjung habis! "Sumoi, Suhu hanya
meninggalkan pesan agar kita mencari kembali pusaka-pusaka itu...." "Kau yang mencari pusaka, aku yang membunuh
iblis betina itu!" Swat Hong berseru penuh semangat. "Dan Bu Ong... hemm,apa pula artinya ini? Bukan putera
ayah?" "Sumoi, tenanglah dan dengarlah penuturanku. Mungkin hanya aku dan ayahmu saja yang tahu akan nasib
wanita itu, nasib yang amat buruk dan mengerikan. Tahukah kau apa yang telah dialami oleh The Kwat Lin sebelum
ditolong ayahmu?" Sin Liong lalu menceritakan keadaan The Kwat Lin yang menjadi gila karena dua belas orang
suhengnya dibunuh orang dan agaknya, melihat keadaannya, gadis yang tadinya seorang pendekar wanita perkasa itu
telah diperkosa di antara mayat para suhengnya.
Senin, 12 November 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar