"Kurasa demikianlah kejadiannya. Setelah suhu menyatakan bahwa
Bu Ong adalah keturunan Kai-ong, teringatlah aku. Jelas bahwa The Kwat Lin diperkosa oleh pembunuh dua belas
orang anak murid Bu-tongpai itu, sehingga anak yang dilahirkannya itu, Han Bu Ong, adalah keturunan Kai-ong
yang memperkosanya dan membunuh para suhengnya." Mendengar penuturan tentang nasib mengerikan yang dialami ibu
tirinya, Swat Hong bergidik. Akan tetapi dia mengomel. "Yang berbuat jahat kepadanya adalah Raja Pengemis itu,
mengapa dia membalasnya kepada ibu? Dan dia telah menghancurkan penghidupan Ayah. Betapapun juga, aku harus
mencarinya dan membalaskan sakit hati ibu dan Ayah." Sin Liong maklum bahwa membantah kehendak sumoinya ini
percuma, hanya akan menimbulkan pertentangan saja. Maka diam-diam dia mengambil keputusan untuk selalu
mendamping sumoinya, selain menjaga keselamatan dara ini, juga kalau perlu mencegah sepak terjangnya yang
terdorong oleh nafsu dan dendam. Betapapun juga, setelah Pulau Es dibasmi oleh badai, dara ini kehilangan ayah
bunda, tiada sanak kadang, tiada handai taulan dan dialah satu-satunya orang yang patut melindunginya, sebagai
suhengnya. Ataukah sebagai calon suami? Sin Liong tidak mengerti dan tidak berani memutuskan. Biarlah hal
perjodohan itu diserahkan kepada keadaan kelak. Dia tidak membantah ketika sumoinya mengajaknya meninggalkan
Pulau Es yang telah kosong itu, untuk mencari ibunya, dan kalalu masih juga tidak berhasil, untuk pergi ke
daratan besar mencari The Kwat Lin. Beberapa hari kemudian, setelah yakin benar bahwa tidak ada seorang pun di
antara penghuni Pulau Es yang selamat dan kembali ke pulau itu, Sin Liong dan Swat Hong berangkat meninggalkan
Pulau Es. Ketika perahu kecil yang mereka dayung itu meluncur meninggalkan pulau, Swat Hong memandang kearah
pulau dengan air mata bercucuran. Juga Sin Liong merasa terharu dan berduka mengingat akan nasib para penghuni
Pulau Es yang mengerikan itu. Mereka berdua mendayung perahu menuju ke selatan dan di sepanjang perjalanan ini
mereka menemukan bukti-bukti kedahsyatan badai dan keanehan alam yang diakibatkan oleh letusan gunung berapi di
bawah laut itu. Ada pulau yang lenyap sama sekali , dan ada pula pulau yang baru muncul begitu saja, pulau yang
amat aneh, pulau batu karang yang masih jelas kelihatan bahwa pulau ini tadinya merupakan dasar laut dengan
segala keindahannya, dengan mahluk hidup dan tetumbuhannya yang kini semua mengeras menjadi batu karang dengan
bermacam bentuk. Banyak pulau yang mengalami nasib serupa dengan pulau Es, yaitu menjadi gundul, habis sama
sekali tetumbuhan atasnya. diam-diam terbayang dalam pikiran Sin Liong betapa dahsyat kekuasan alam. Andaikata
semua lautan yang mengamuk seperti beberapa hari yang lalu itu, agaknya dunia akan menjadi kiamat! Melihat
keadaan pulau-pulau itu, timbul rasa khawatir dalam hati Sin Liong tentang keadaan Pulau Neraka. Tentu pulau
itu pun tidak terluput dari amukan badai, pikirnya. Padahal baru saja pulau itu mengalami penyerbuan Han Ti Ong
dan pasukannya! Sin Liong merasa kasihan sekali terhadap nasib para penghuni Pulau Neraka. Apakah pulau itu
seperti juga Pulau Es, disapu bersih dan seluruh penghuninya terbasmi habis? "Agaknya ibumu tidak berada
diantara pulau-pulau ini," Beberapa hari kemudian setelah merasa mencari dengan sia-sia, Sin Liong mengemukakan
pendapat. "Bagaimana kalau kita mencari ke utara lagi. Siapa tahu kali ini kita berhasil, dan kita dapat juga
bertanya ke Pulau Neraka kalau-kalau ibumu ke sana." "Hemm, agaknya engkau sudah rindu kepada Soan Cu, suheng."
Sian Liong mengerutkan alisnya. "sumoi, kau...cemburu lagi?" Wajah dara itu menjadi merah. "Aku hanya berkata
sewajarnya." "Sudahlah. Kalau kau cemburu, kita tidak usah singgah di Pulau Neraka," kata Sin Liong menarik
napas panjang. Hening sejenak dan mereka telah menghentikan gerakan dayung karena mereka masih belum mendapat
keputusan akan mencari ke mana. "Kita ke Pulau Neraka!" tiba-tiba Swat Hong berkata. "Ehhh...??" "Aku harus ke
sana. Aku akan menegur kakek berkepala besar itu! Pulau Neraka yang menjadi biangkeladi sehingga Ayah
marah-marah kepada kita, hampir saja kita dibunuhnya. Karena Pulau Neraka telah berani menawanku." "Hemm,
Sumoi. Mengapa kejadian yang telah lewat dipersoalkan lagi? Bukankah Ayamu telah menyerbu ke sana kurasa Ayahmu
telah menghukum mereka menurut cerita anak buah pasukan? Kalau begitu, kita tidak perlu pergi ke sana, sumoi."
"Aku harus pergi ke sana!" dara itu berkeras. Sin Liong menggeleng-geleng kepala. Sukar benar melayani sumoinya
ini yang memiliki watak aneh dan hati yang keras sepeti baja. "Aku hanya mau pergi ke Pulau Neraka kalau untuk
mencari ibu, akan tetapi kalau kita pergi ke sana hanya untuk mencari perkara, aku tidak mau. Kau harus
berjanji tidak akan membuat kekacauan di sana, sumoi." "Hemmm, agaknya kau berkeinginan keras untuk menjadi
sahabat baik Pulau Neraka, ya? Karena ada...." "Sumoi, harap jangan bicara yang tidak-tidak. Memang kita
sahabat baik mereka! Lupakah kau ketika mereka mengantar kita ketika meninggalkan pulau itu? Karena itu, aku
hanya mau pergi ke sana kalau untuk mencari ibumu dan menjenguk mereka sebagai sahabat, melihat keadaan mereka
setelah ada badai mengamuk." Swat Hong cemberut, akan tetapi menjawab juga. "Baiklah, kita lihat saja nanti."
Dan mereka lalu mendayung perahu dengan cepat menuju ke Pulau Neraka. Akan tetapi, setelah mereka tiba di
daerah Pulau Neraka, mereka menjadi bingung dan pangling karena didaerah itu telah terjadi perubahan hebat
sekali. Mungkin karena akibat badai yang mengamuk, yang ternyata mengambil daerah yang amat luas itu, di
sekitar situ telah muncul gunung-gunung es yang anat besar sehingga Pulau Neraka yang biasanya tampak dari jauh
sebagai raksasa yang tidur itu kini tidak kelihatan lagi karena semua jurusan terhalang pandangannya oleh
gunung-gunung es. Mereka mendayung perahu berputar namun tidak dapat keluar dari kurungan gunung-gunung es itu.
"Ahhh, dahulu tidak ada gunung-gunung es besar seperti ini," kata Swat Hong. "Ini tentu diakibatkan oleh badai
itu, Sumoi. Biarlah kita mengaso dulu dan aku akan mencoba melihat keadaan dari puncak sebuah gunung. Kau
tunggu saja di sini."Perahu itu menempel pada sebuah bukit es yang tinggi dan Sin Liong meloncat ke daratan es.
Kemudian dia menggunakan ilmunya berlari cepat, mendaki gunung es itu untuk melihat dan mengenali daerah itu
dari atas puncaknya yang tinggi. Tiba-tiba terdengar suara gerengan keras sekali yang mengguncangkan seluruh
gunung es itu. Sin Liong terkejut dan dengan cepat dia menoleh untuk melihat apa yang mengeluarkan suara
seperti itu. Dari jauh tampak olehnya seekor beruang besar sedang menggerakkan kedua kaki depanya ke arah
burung-burung yang menyambar-nyambar di atasnya. Burung-burung nazar (burung botak pemakan bangkai) yang
besarbesar beterbangan di atas biruang itu dan menyerangnya dari atas sambil mengeluarkan suara pekik
mengerikan. Melihat ini, Sin Liong cepat berlari mendekati. Ternyata beruang itu terluka parah juga di beberapa
bagian anggauta badannya, sedangkan di bawah kakinya tampak bangkai seekor ular laut yang besar. Jelaslah bahwa
biruang itu tadi berkelahi dengan ular laut itu dan dia menang, akan tetapi dia menderita luka-luka dan
burung-burung nazar yang kelaparan itu kini hedak mengeroyoknya dan tentu saja ingin makan bangkai ular besar.
Sin Liong segera menggunakan salju yang digenggam untuk menyambiti burung-burung itu. Terdengar suara
plak-plok-plak-plok disusul suara burung-burung nazar berkaok-kaok kesakitan dan mereka terbang ketakutan
menjauhi tempat itu karena setiap kali terkena sambitan salju, terasa nyeri sekali. Dengan beberapa loncatan
saja Sin Liong sudah tiba di depan biruang itu. Beruang yang berkulit hitam dan amat besar itu menyeringai dan
mengerang, memperlihatkan gigi bertaring yang amat runcing kuat dan lidah yang merah. Matanya terbelalak penuh
kecurigaan dan kemarahan kepada Sin Liong. "Tenanglah, aku datang untuk menolongmu," kata Sin Liong sambil maju
lebih dekat. "Auuughh..!" Beruang itu menggerang dan kaki depan yang kiri menyambar kearah dada Sin Liong.
Melihat betapa telapak kaki itu berdarah, Sin Liong mengelak dan cepat menangkap pergelangan kaki depan itu.
Kiranya telapak kaki itu tertusuk tulang dan masuk amat dalam. Agaknya dalam perkelahian melawan ular laut,
beruang itu mencengkram tubuh ular dan sedemikian kuatnya dia mencengkeram sampai tulang punggung ular patah
dan menusuk ke dalam daging di telapak kaki depan itu, Sin Liong segera mencabut tulang itu. Darah mengucur
deras dan dia segera membalut dengan saputangannya. Beruang itu kini tidak marah lagi. Agaknya dia cerdik dan
dapat mengerti bahwa orang yang datang ini bukan musuh, bahkan menolongnya. Kaki depan yang terluka itu kini
tidak nyeri lagi dan tentu saja , karena yang membuat dia tersiksa rasa nyeri tadi adalah karena tulang yang
menancap itu. "Coba kuperiksa, apa lagi yang perlu kuobati," Sin Liong berkata dan dia memeriksa luka-luka di
tubuh beruang itu. Ada sebuah luka di tengkuk yang membengkak. Tahulah Sin Liong bahwa luka ini cukup
berbahaya, kalau tidak lekas diberi obat yang cocok akan dapat membahayakan nyawa beruang itu. "Hemmm, aku
harus mencarikan daun obat untuk luka-lukamu,"katanya, lupa bahwa beruang itu tentu saja tidak mengerti apa
yang dia katakan. "Hai, Suheng, ada apakah?" Tiba-tiba terdengar teriakan dari atas. Sin Liong menoleh dan
melihat Sumoinya turun berlari-lari cepat sekali.Setelah dekat, beruang itu menggerang dan memandang Swat Hong
dengan marah. "Huh, binatang buruk!" Swat Hong memaki. "Dia terluka cukup berat, akan tetapi dia menang
berkelahi melawan ular laut itu. Lihat, betapa besarnya ular itu, Sumoi. Beruang itu kuat sekali. Aku harus
mengobatinya sampai sembuh." Swat Hong mengerutkan alisnya, "Perlu apa menolong binatang buas seperti itu,
Suheng? Membuang-buang waktu saja." "Dia tidak buas lagi, sumoi. lihat betapa jinaknya. Dia pun mahluk hidup
yang perlu kita tolong. Aku merasa kasihan kepadanya,sumoi." "Wah, kau lebih mementingkan dia..." "Hei..., ada
apa engkau...?" Tiba-tiba Sin Liong berteriak melihat beruang itu menggereng-gereng dan menarik-narik
tangannya, seolah-olah hendak mengajak Sin Liong pergi dari situ! Beruang itu makin keras menggereng dan makin
kuat menariknya. Diam-diam Sin Liong kagum bukan main. Tenaga beruang ini luar biasa besarnya, dan kiranya dia
hanya akan dapat menandingi tenaga raksasa ini kalau dia menggerakan sinkang sekuatnya! Akan tetapi tiba-tiba
dia mendapat firasat tidak baik melihat sikap beruang itu, maka disambarnya tangan sumoinya dan dia berteriak.
"Awas, sumoi. Mari pergi, dia menghendaki demikian, entah mengapa?"
Senin, 12 November 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar