Orang termuda itu pingsan karena kehilangan banyak darah, takut dan ngeri. Kiam-mo
Cai-li melepaskan libatan rambutnya dan tubuh itu tergulig roboh, terlentang dengan muka pucat dan napas
terengah-engah. 'Sute...!" Kembali mereka mengeluh dan dengan penuh kengerian mereka melihat betapa wanita itu
menggunakan lidahnya yang kecil merah dan meruncing itu untuk menjilati darah yang masih belepotan di bibirnya
yang menjadi makin merah. Wajahnya kemerahan, segar seperti kembang mendapat siraman, berseri-seri dan ketika
dia mendekati empat orang itu, mereka terbelalak penuh kengerian. Akan tetapi, wanita itu tidak menyerang
mereka, agaknya dia sudah puas menghisap darah orang termuda tadi. Hanya kini kedua tangannya bergerak -gerak
dan sekali renggut saja pakaian empat orang itu telah koyak-koyak. Kemudian dia bangkit berdiri, dengan gerakan
memikat seperti seorang penari telanjang, dia membuka pakaiannya, menanggalkan satu demi satu sambil
menari-nari! Sampai dia bertelanjang bulat sama sekali di depam empat orang itu yang membuang muka dengan
perasaan ngeri dan sebal! "Kalian layanilah aku, puaskanlah aku, senangkan hatiku dan aku akan membebaskan
kalian berlima. Lihat, bukankah tubuhku menarik? Aku hanya ingin mendapatkan cinta kalian, aku tidak
menginginkan nyawa kalian." "Cih, siluman betina! Kauanggap kami ini orang-orang apa? Kami adalah murid
Hoa-san-pai yang tidak takut mati. Seribu kali lebih baik mampus daripada memenuhi seleramu yang terkutuk
melayani nafsu berahimu yang menjijikan!" kata empat orang itu saling susul dan saling bantu. Kiam-mo Cai-li
tersenyum. "Hi-hik, begitukah? Kalau begitu, baiklah, kalian melayani aku sampai mampus!" Dia lalu membungkuk
dan menarik lengan seorang di antara mereka, kemudian menggunakan kuku jari kelingking kiri menggurat beberapa
tempat di punggung dan tengkuk pria ini. Orang itu menggigil, menggigit bibir menahan sakit, akan tetapi karena
dia tidak mampu mengerahkan sinkang, dia tidak dapat melawan pengaruh hebat yang menggetarkan tubuhnya melalui
luka-luka goresan kuku beracun dari kelingking itu. Mukanya menjadi merah, juga matanya menjadi merah dan
napasnya terengah-engah. Tiga orang pendekar yang lain memandang penuh kekhawatiran dan kengerian. Tiba-tiba
wanita itu terkekeh, menggunakan tangan membebaskan totokan sehingga orang itu dapat menggerakkan kaki
tangannya dan terjadilah hal yang membuat tiga orang pendekar yang masih rebah lumpuh itu terbelalak penuh
kengerian. mereka melihat Sute mereka itu seperti seorang gila menerkam dan mendekap tubuh wanita itu penuh
gairah nafsu! Dengan mata terbelalak mereka melihat betapa wanita itu menyambutnya dengan kedua lengan terbuka,
bergulingan di atas rumput dan tampak betapa wanita itu membiarkan dirinya diciumi, kemudian mengalihkan
mulutnya yang lebar ke leher Sute mereka! Mereka bertiga terpaksa memjamkan mata agar tidak usah menyaksikan
peristiwa yang memalukan dan terkutuk itu. Mereka mengerti bahwa Sute mereka melakukan hal terkutuk itu karena
terpengaruh oleh racun yang diguratkan oleh kuku jari kelingking si iblis betina, dan mereka tahu pula bahwa
Sute mereka yang diamuk pengaruh jahanam itu tidak tahu bahwa darahnya dihisap oleh wanita itu yang seperti
telah dilakukan pada orang pertama tadi kini juga menghisap darahnya sepuas hatinya. Dapat diduga lebih dahulu
bahwa tiga orang yang lain juga mengalami siksaan yang sama tanpa dapat berdaya apa-apa tanpa dapat melawan.
Hal ini dilakukan berturut-turut oleh Kiam-mo Cai-li dan tiga hari tiga malam kemudian, dia meninggalkan tempat
itu sambil menjilat-jilat bibirnya penuh kepuasan. Setelah dia melempar kerling ke arah lima tubuh telanjang
yang sudah menjadi mayat semua itu, bergegas dia pergi mendaki Jeng-hoa-san untuk mencari Sin-tong yang amat
diinginkan. Lima orang Kee-san Ngo-hohan itu mengalami kematian yang amat mengerikan. Tubuh mereka kehabisan
darah, kulit mengeriput. Mereka seperti lima ekor lalat yang terjebak ke sarang laba-laba dan setelah semua
darah mereka disedot habis oleh laba-laba, mayat mereka yang sudah kering dan habis sarinya itu dilemparkan
begitu saja. Kwa Sin Liong, atau yang lebih terkenal dengan nama panggilan Sin-tong, pada pagi hari itu seperti
biasa setelah mandi cahaya matahari, lalu menjemur obat-obatan dan tidak lama kemudian berturut-turut datanglah
orang-orang dusun yang membutuhkan bahan obat untuk bermacam penyakit yang mereka derita. Sin tong mendengarkan
dengan sabar keluhan dan keterangan mereka tentang sakit yang mereka derita, menyiapkan obat-obat untuk mereka
semua dengan hati penuh belas kasihan. Semua ada sebelas orang dusun, tua muda laki perempuan yang memandang
kepada bocah itu dengan sinar mata penuh kagum dan pemujaan.
Jumat, 26 Oktober 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar