Selasa, 23 Oktober 2012

BUKEK SIANSU (7)

Beberapa hari kemudian semenjak Sin-hek-houw datang minta obat kepada Sin Liong, makin banyaklah orang yang datang membisikkan kepada anak itu tentang geger di dunia kang-ouw tentang dirinya.Bermacam-macam berita aneh yang didengar oleh Sin Liong tentang ancaman dan lain-lain mengenai dirinya, namun dia sama sekali tidak ambil peduli dan tetap saja bersikap tenang dan bekerja seperti biasa, tidak pernah gelisah, bahkan sama sekali tidak pernah memikirkan tentang berita yang didengarnya itu. Beberapa pekan kemudian, pagi hari dari arah timur kaki Pegunungan Jeng-hoa-san tampak berjalan eorang kakek seorang diri, menoleh ke kanan dan kiri seolah-olah menikmati pemandangan alam di sekitar tempat itu, kakek ini usianya tentu sudah enam puluhan tahun, tubuhnya kurus kecil, pakaiannya penuh tambalan,dan wajahnya membayangkan kesabaran dan mulut yang ompong itu bahkan selalu menyungging senyum simpul keramahan. Dia melangkah perlahan-lahan memasuki hutan pertama di kaki Pegunungan Jeng-hoa-san, langkahnya dibantu dengan ayunan sebatang tongkat butut yang berwarna hitam, agaknya terbuat dari semacam kayu yang sudah amat tua sehingga seperti besi saja rupanya.Agaknya dia seorang pengemis tua yang hidupnya serba kekurangan namun yang dapat menyesuaikan diri sehingga tidak merasa kurang, bahkan kelihatannya gembira, menerima hidup apa adanya dan hatinya selalu senang. Buktinya ketika dia mendengar kicau burung-burung, kakek ini membuka mulutnya dan bernyanyi pula! Akan tetapi kata-kata dalam nyanyiannya itu tentu akan membuat setiap orang yang mendegarnya mengerutkan kening, karena selain aneh,juga menyimpang dari ajaran kebatinan umumnya! "Apa artinya hidup kalau hati tak senang? Apa artinya hidup Kalau segala keinginan tak terpenuhi? Puluhan tahun mempelajari ilmu Bekal memenuhi segala kehendak Berenang dalam lautan kesenangan Matipun tidak penasaran! Berkali-kali pengemis ini bernyanyi dengan kata-kata yang itu-itu juga, suaranya halus dan cukup merdu dan sambil bernyanyi dia mengatur irama lagu dengan ketukan tongkatnya di atas tanah lunak atau kebetulan mengenai batu yang keras, ujung tongkat itu tentu membuat lubang.Kedua kakinya yang bersepatu butut itu sendiri tidak meninggalkan jejak seolah-olah dia tidak menginjak tanah akan tetapi tongkat itu membuat jejak jelas karena setiap kali melubangi tanah maupun batu. Adapun kaki itu sendiri, biarpun menginjak tanah basah, sama sekali tidak meninggalkan bekas. Beberapa menit kemudian setelah kakek aneh ini lewat, tampak berkelebat bayangan orang, juga datang dari arah timur melalui kaki bukit itu.Mereka itu terdiri dari 12 orang laki-laki dari usia tiga puluh sampai empat puluh tahun, dan seorang wanita berusia dua puluh lima tahun, berwajah manis dan bertubuh bagus dengan pinggang ramping. 12 orang laki-laki itu kesemuanya kelihatan gagah dan pakaian mereka jelas menunjukkan bahwa mereka adalah ahli-ahli silat, sedangkan gerakan mereka yang ringan cekatan membuktikan bahwa mereka bukanlah sembarangan orang kang-ouw melainkan rombongan orang gagah yang berilmu. Hal ini memang tidak salah, karena mereka itulah yang terkenal dengan julukan Cap-sa-sinhiap (13 Pendekar Sakti) murid-murid utama dari Partai Besar Bu-tong-pai! "Tahan dulu, para suheng!" Tiba-tiba wanita cantik itu mengangkat tangannya ke atas dan memperingatkan para suhengnya, kemudian dia menuding ke bawah dan berkata, "Lihat ini....!" Tiga Belas orang ini memperhatikan bekas tusukan tongkat pengemis tadi yang jaraknya teratur dan biarpun tiba di atas batu, tetap saja tampak batu itu berlubang. "Siapa lagi kalau bukan dia?" kata gadis itu dengan alis berkerut. "Tenaga tusukan tongkat yang hebat" kata seorang."Dan jejak kakinya tidak tampak, tak salah lagi, Pat-jiu Kai-ong (Raja Pengemis Berlengan Delapan), tentu telah lewat disini, dan baru saja. Hayo cepat kita mengejarnya! Jangan sampai dia mendahului kita memasuki Hutan Seribu Bunga!" kata orang tertua di antara mereka, seorang berusia empat puluh tahun yang bermuka seperti harimau. Karena kini merasa yakin bahwa jejak lubang-lubang itu tentu terbuat oleh tongkat Pat-jiu kai-ong, maka tiga belas orang tokoh Bu-tong-pai itu mencabut senjata masing-masing dan tampaklah berkilaunya senjata tajam itu meluncur ke depan ketika tiga belas orang itu mengerahkan ginkang mereka dan menggunakan ilmu berlari cepat melakukan pengejaran ke depan, ke arah jejak berlubang itu. Tak lama kemudian terdengarlah oleh mereka bunyi nyanyian kakek pengemis tadi. Tiga belas orang ini memperlambat larinya dan satu-satunya wanita diantara mereka mengomel lirih, "Hemm, dasar manusia iblis. Selama hidupnya mengejar kesenangan dan demi kesenangan dia tidak segan melakukan hal-hal terkutuk yang kejamnya melebihi iblis sendiri! "Sssssttt, Sumoi, terhadap orang seperti dia kita harus berhati-hati. Semenjak dahulu, Bu-tong-pai tidak pernah bermusuhan dengan tokoh kang-ouw yang manapun juga, tidak pula mencampuri urusan mereka. Maka biarlah nanti kita bertanya dia secara baik-baik dan kalau tidak terpaksa sekali lebih baik kita menghindarkan pertempuran." Kata twa-su-heng (kakak seperguruan tertua) mereka. Semua sutenya mengangguk, akan tetapi sumoinya mengomel, "Siapakah yang takut kepadanya?" Dia melintangkan pedangnya. Memang nona yang bernama The Kwat Lin ini, terkenal berhati keras dan pemberani dan memang ilmu pedangnya hebat maka tidaklah mengherankan apabila diat terhitung seorang di antara Capsha Sin-hiap yang terkenal di dunia kang-ouw.

0 komentar:

Posting Komentar