Selasa, 30 Oktober 2012

BUKEK SIANSU (29)

Dengan wajah berseri Sin LIong lalu menggali lubang. Akan tetapi karena dia hanya seorang anak kecil dan yang dipergunakan menggali hanyalah sebatang cangkul biasa yang kecil pemberian orang-orang dusun dan yang biasa dia pergunakan untuk menggali dan mencari akar obat, maka tentu saja menggali sebuah lubang untuk mengubur sebelas buah mayat bukan merupakan pekerjaan ringan dan mudah! Mula-mula Han Ti Ong duduk di bawah pohon dan melirik ke arah muridnya itu yang bekerja keras. Disangkanya bahwa tentu bocah itu akan kelelahan dan akan beristirahat. Akan tetapi dia kecele. Sin Liong bekerja terus biarpun kaki tangannya sudah pegal-pegal semua, dan keringat membasahi seluruh tubuh, menetes dari dahinya dan kadang-kadang diusapnya dengan lengan baju. Akan tetapi dia tidak pernah berhenti bekerja. Sudah setengah hari mencangkul, baru dapat membuat lubang yang hanya cukup untuk dua buah mayat saja. Kalau dilanjutkan, agaknya untuk dapat menggali lubang yang cukup untuk semua mayat, ia harus bekerja selama dua hari dua malam atau lebih! "Hemm, hatinya lembut tapi kemauannya keras. Benar-benar bocah ajaib." Han Ti Ong mengomel sendiri dan dia lalu bangkit, dirampasnya cangkul dari tangan muridnya dan tanpa berkata apa-apa lagi dia lalu mencangkul. Gerakannya amat cepat sekali sehingga Sin Liong yang mundur dan menonton menjadi kabur pandangan matanya karena seolah-olah tubuh gurunya berubah menjadi banyak, semuanya mencangkul dan sebentar saja telah terbuat sebuah lobang yang amat besar dan yang cukup untuk megubur sebelas buah mayat itu. Tentu saja hati Sin lIong girang bukan main dan satu demi satu diangkat, atau lebih tepat diseeretnya mayat-mayat itu, dimasukkan ke dalam lubang dan air matanya bercucuran! Han Ti ong membantu muridnya mengguruk atau menutup lubang itu sehingga di tempat itu, di depan gua tempat tinggal Sin Liong, terdapat sebuah kuburan yang besar sekali. "Sudahlah, sudah mati ditangisipun tidak ada gunanya. Mari kita pergi!" Sin Liong merasa lengannya dipegang oleh gurunya dan di lain saat dia harus memejamkan matanya karena tubuhnya telah "terbang" dengan amat cepatnya meninggalkan Gunung Jeng-hoa-san, entah kemana! Akan tetapi setelah merasa terbiasa, Sin Liong berani juga membuka matanya dan dengan penuh kagum dia melihat bahwa dia dikempit oleh suhunya yang berlari cepat seperti angin saja. Dia mengenal pula tempat dimana suhunya melarikan diri yaitu ke sebelah timur Pegunungan Jeng-hoa-san. Tiba-tiba dia melihat sesuatu, juga hidungnya mencium sesuatu, maka dia cepat berseru, "Suhu, harap berhenti dulu!" Han Ti Ong berhenti. "Ada apa?" "Suhu, disana itu..." Suara Sin Liong tergetar dan ketika Han Ti Ong menoleh, dia pun merasa jijik sekali. Yang ditunjuk oleh muridnya itu adalah sekumpulan mayat orang yang sudah menjadi mayat rusak dan bekasnya menunjukkan bahwa mayat-mayat itu tentu diganggu oleh binatang-binatang buas sehingga berserakan kesana-sini. "Mau apa kau?" Han Ti Ong membentak. "Suhu apakah kita harus mendiamkan saja mayat-mayat itu? Mereka adalah bekas-bekas manusia seperti kita juga. Kasihan kalau tidak diurus..." "Wah, kau memang gatal-gatal tangan ! Nah, hendak kulihat apa yang akan kau lakukan terhadap mereka?" Han Ti Ong menurunkan Sin Liong dan dia sendiri lalu duduk diatas sebuah batu dari tempat agak jauh. Dia sungguh ingin tahu apa yang akan dilakukan muridnya itu terhadap mayat-mayat yang sudah demikian membusuk, bahkan dari tempat dia duduk pun tercium baunya yang hampir membuatnya muntah. Dengan langkah lebar Sin Liong menghampiri mayat-mayat itu, sedikit pun tidak kelihatan jijik atau segan.

0 komentar:

Posting Komentar