"Terima kasih kepada Cuwi Locianpwe. Akan tetapi saya tidak dapat ikut siapapun juga
di antara Cuwi karena di balik semua kebaikan Cuwi terdapat kekerasan dan nafsu membunuh sesama manusia. Tidak,
saya tidak akan turut siapapun, saya lebih senang tinggal disini, di tempat sunyi ini. Harap Cuwi sekalian
tinggalkan saya, saya akan mengubur mayat-mayat yang patut dikasihani ini." "Wah, kepala batu! Kalau begitu,
aku akan memaksamu!" kata Tee-tok yang berwatak berangasan dan kasar. "Eh, nanti dulu! Siapa pun tidak boleh
mengganggunya!" bentak Thian-tok. "Siancai...sabar dulu semua! Jelas bahwa bocah ajaib ini tidak mau memilih
seorang diantara kita secara sukarela. Karena itu, tentu kita semua ingin merampasnya secara kekerasan. Maka
harus diatur sebaik dan seadil mungkin. Kita bukan kanak-kanak, kita adalah orang-orang yang telah menghimpun
banyak ilmu, maka sebaiknya kalau kita sekarang masing-masing mengeluarkan ilmu dan mengadu ilmu. Siapa yang
keluar sebagai pemenang, tentu saja berhak meimiliki Sin-tong," kata Lam-hai Seng-jin yang lebih sabar daripada
yang lain. "Mana bisa diatur begitu?" bantah Pat-jiu kai-ong yang khawatir kalau-kalau lima orang itu akan
mengeroyok dia dan Kiam-mo Cai-li. "Lebih baik seorang lawan seorang, yang kalah masuk kotak dan yang menang
harus menghadapi yang lain setelah beristirahat. Begitu baru adil!" "Tidak!" bantah Kiam-mo Cai-li, wanita yang
cerdik ini dapat melihat kesempatan yang menguntungkannya kalau terjadi pertandingan bersama seperti yang
diusulkan Lam-hai Seng-jin. Dalam pertempuran seperti itu, siapa cerdik tentu akan keluar sebagai pemenang.
"Kalau diadakan satu lawan satu, terlalu lama. Sebaiknya kita bertujuh mengeluarkan ilmu dan saling serang
tanpa memandang bulu. Dengan demikian, satu-satunya orang yang kelaur sebagai pemenang, Jelas dia telah lihai
daripada yang lain." Akhirnya Pat-jiu kai-ong kalah suara dan ketujuh orang itu telah mengelurkan senjata
masing-masing, membentuk lingaran besar dan bergerak perlahan-lahan saling lirik , siap untuk menghantam siapa
yang dekat dan menangkis serangan dari manapun juga! Benar-benar merupakan pertandingan hebat yang kacau balau
dan aneh! Sin Liong yang masih duduk bersila, memandang dengan mata terbelalak dan dia menjadi silau ketika
tujuh orang itu sudah mulai menggerakkan senjata masing-masing untuk menyerang dan menangkis. Gerakan mereka
demikian cepatnya sehingga bagi Sin Liong, yang kelihatan hanyalah gulungan-gulungan sinar senjata dan bayangan
orang berkelebatan tanpa dapat dilihat jelas bayangan siapa. Memang hebat pertandingan ini karena dipandang
sepintas lalu, seolah-olah setiap orang melawan enam orang musuh dan kadang-kadang terjadi hal yang lucu.
Ketika Tee-tok menyerang Pat-jiu Kai-ong dengan siang-kiamnya, sepasang pedangnya ini membabat dari kiri kanan.
Pat-jiu Kai-ong terkejut karena pada saat itu dia sedang menyerang Lam-hai Seng-jin yang di lain pihak juga
sedang menyerang Gin-siauw Siucai! Akan tetapi terdengar suara keras ketika sepasang pedang Tee-tok itu bertemu
dengan tombak di tangan Thian-he Te-it dan tongkat Thian-tok, sehingga seolah-olah dua orang ini melindungi
Pat-jiu Kaiong. Pertandingan kacau balau dan hanya Kiam-mo Cai-li yang benar-benar amat cerdiknya. Dia tidak
melayani seorang tertentu, melainkan berlarian berputar-putar, selalu menghindarkan serangan lawan yang manapun
juga dan dia pun itdak menyerang siapa-siapa, hanya menggerakkan pedang payungnya dan rambutnya untuk membuat
kacau dan kadang-kadang juga menekan lawan apabila melihat ada seorang diantara mereka yang terdesak. Siasatnya
adalah untuk merobohkan seorang demi seorang dengan jalan "mengeroyok" tanpa membantu siapa-siapa agar jumlah
lawannya berkurang. Namun, mereka itu rata-rata adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, maka
tidaklah mudah dibokong oleh Kiam-mo Cai-li, bahkan lama-lama akalnya ini ketahuan dan mulailah mereka
menujukan senjata kepada wanita ini sehingga mau tidak mau wanita itu terseret ke dalam pertandingan
kacau-balau itu! Terpaksa dia mempertahankan diri dengan pedang payungnya, dan membalas serangan lawan yang
paling dekat dengan kemarahan meluap-luap. Sin Liong menjadi bengong. Entah kapan datangnya, tahu-tahu dia
melihat seorang laki-laki duduk ongkang-ongkang di atas cabang pohon besar yang tumbuh dekat medan pertandingan
itu. Laki-laki itu memandang ke arah pertempuran dengan mata terbelalak penuh perhatian, tangan kiri memegang
sehelai kain putih lebar, dan tangan kanan yang memegang sebatang alat tulis tiada hentinya mencoratcoret di
atas kain putih itu, seolah-olah dia tidak sedang menonton pertandingan, melainkan sedang menonton pemandangan
indah dan dilukisnya pemandangan itu!
Minggu, 28 Oktober 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar