Sin Liong yang terheran-heran itu memperhatikan. Orang laki-laki itu
kurang lebih empat puluh tahun usianya, pakaiannya seperti seorang pelajar akan tetapi di bagian dada bajunya
yang kuning muda itu ada lukisan seekor Naga Emas dan seekor Burung Hong Merah. Indah sekali lukisan baju itu.
Wajahnya tampan dan gagah, dengan kumis dan jenggot terpelihara baik-baik, pakaiannya juga bersih dan terbuat
dari sutera halus, sepatu yang dipakai kedua kakinya masih baru atau setidaknya amat terpelihara sehingga
mengkilap. Rambutnya memakai kopyah sasterawan dan sepasang matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan ketika dia
mencorat-coret melukis pertandingan antara tujuh orang sakti itu. Sin Liong makin bingung. Betapa mungkin
melukis tujuh orang yang sedang berkelebatan hampir tak tampak itu? Sin Liong tidak lagi memperhatikan
pertandingan, hanya memandang ke arah orang itu. Dia mendengar bentakan-bentakan nyaring dan tidak tahu bahwa
tujuh orang itu telah ada yang terluka. Thian-he Te-it telah terkena hantaman tongkat Thian-tok di pahanya
sehingga terasa nyeri sekali. Pat-jiu Kai-ong juga kena serempet pundaknya sehingga berdarah oleh sebatang di
antara Siang-kiam di tangan Tee-tok, sedangkan Lam-hai Seng-jin dan Gin-siauw Siucai juga telah mengadu tenaga
dan keduanya tergetar samapi muntahkan darah namun berkat sinkang mereka, kedua orang ini tidak sampai
mengalami luka dalam yang parah. Sin Liong melihat betapa laki-laki di atas pohon itu tersenyum, menghentikan
coretannya, menyimpan pensil dan menyambar jubah luar yang tadi tergantung di ranting pohon, memakainya,
kemudian mengantongi gambar yang telah digulungnya dan tubuhnya melayang turun. "Tontonan tidak bagus!"
Terdengar dia berseru. "Tujuh orang tua bangka gila memperlihatkan tontonan di depan seorang anak kecil
benar-benar tak tahu malu sama sekali!" Tujuh orang itu terkejut ketika mendengar suara yang langsung
menggetarkan jantung mereka itu. Mengertilah mereka bahwa yang datang ini memiliki khikang dan singkang yang
amat kuat, sehingga dapat mengatur suaranya, langsung dipergunakan untuk menyerang mereka dan sama sekali tidak
mempengaruhi Sin-tong yang masih duduk bersila. Dengan hati tegang mereka lalu meloncat mundur dan
masing-masing melintangkan senjata di depan dada, memandang ke arah laki-laki gagah yang baru muncul itu.
Namun, tidak ada seorangpun diantara mereka yang mengenalnya, maka ketujuh orang itu menjadi marah sekali.
"Bangsat kecil, engkau siapakah berani mencampuri urusan kami dan memaki kami?" bentak Patjiu Kai-ong sambil
mengusap pundaknya yang berdarah. Apa kau memiliki kepandaian maka berani mencela kami, tikus kecil?" bentak
pula Thian-he Te-it yang masih ngilu rasa pahanya, dan untung bahwa pahanya itu tidak patah tulangnya.
Laki-laki itu melangkah maju menghampiri mereka dengan langkah tegap dan sikap sama sekali tidak takut, bahkan
wajahnya itu berseri-seri memandang mereka seorang demi seorang. kemudian, setelah berada di tengah-tengah
sehingga terkurung, dia berkata, " Tadinya aku hanya mendengar bahwa ada seorang anak baik terancam oleh
perebutan orang-orang pandai di dunia kang-ouw. Ketika tiba disini dan melihat lagak kalian, mau tidak mau aku
masuk dan hatiku memang penasaran menyaksikan gerakan kalian yang sungguh-sungguh masih mentah. Ilmu tongkat
dia itu tentu Pat-mo-tung-hoat yang berdasarkan Ilmu Pedang Pat-mo-kiam-hoat," katanya sambil menuding ke arah
Pat-jiu Kai-ong. Raja pengemis itu terkejut sekali melihat orang mengenal ilmu tongkatnya, padahal tadi mereka
bertujuh bertanding dengan kecepatan luar biasa, bagaimana orang ini dapat mengenal ilmu tongkatnya? "Dan ilmu
otngkat dia itu lebih lucu dan kacau lagi. Meniru gerakan Kauw Cee Thian Si Raja Monyet, akan tetapi kaku dan
mentah, tidak pantas menjadi gerakan Raja Monyet, pantasnya menjadi gerakan Raja Tikus! Dia menuding arah
Thian-tok. "Brakkk!!" Batu besar yang berada di samping Thian-tok hancur berantakan karena dipukul oleh
tongkatnya. Dia marah sekali mendengar ucapan yang dianggapnya menghina itu. "Manusia lancang, berani kau
menghina Thian-tok?" bentaknya dan tongkatnya sudah diputar hendak menyerang. Akan tetapi orang itu membentak,
"Berhenti!" Dan aneh, suaranya demikian berwibawa sehingga Thian-tok sendiri sampai tergetar dan menghentikan
gerakan tongkatnya. "Aku melihat kalian masing-masing memiliki kepandaian khusus namun masih mentah semua. Aku
tidak membohong dan kalau tidak percaya, marilah kalian maju seorang demi seorang, akan kuperlihatkan
kementahan ilmu silat kalian yang kalian pergunakna dalam pertandingna kacau balau tadi. Hayo siapa yang maju
lebih dulu, akan kulayani dengan ilmu silat kalian sendiri!" Ucapan ini lebih mendatangkan rasa heran dan tidak
percaya daripada kemarahan, maka Pat-jiu Kai-ong melupakan pundaknya yang terluka, cepat dia sudah meloncat ke
depan, melintangkan tongkatnya di depan dada sambil berseru, "Nah, coba kaubuktikan kementahan ilmu tongkatku!"
Minggu, 28 Oktober 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar