Minggu, 04 November 2012

BUKEK SIANSU (42)

Sering kali Sin Liong kehilangan kejenakaan Swan Hong yang merupakan ciri khas dara ini. Kalau dia melihat dara itu termenung seorang diri, dia menarik nafas panjang dan sekali waktu dia menegus, "Eh, Sumoi. Kenapa kau termenung dan wajahmu suram? lihat, hari tidak sesuram wajahmu, sinar matahari mencairkan salju dengan cahaya yang keemasan!" Swat Hong memandang pemuda itu dan menarik nafas panjang. "Betapa aku tidak tidak akan muram menyaksikan keadaan yang begini dingin di dalam istana, Su-heng? Ayah memang masih biasa dan baik kepadaku, juga ibu baik kepadaku. Akan tetapi antara Ayah dan Ibu seolah-olah terdapat jurang pemisah yang amat dalam. Tidak pernah lagi aku menyaksikan keduanya beramah tamah dan bersendau gurau seperti dahulu lagi. Apakah karena Ibu Permaisuri...?" "Ssst, Sumoi. Kita tidak mempunayi hak untuk bicara mengenai orang-orang tua itu. Hal itu adalah urusan mereka sendiri." "Aku mengerti, Suheng. Akan tetapi aku melihat kedukaan hebat bersembunyi di balik senyum Ibu kepadaku. Aku tahu betapa dia rindu kepada Ayah, rindu yang membuatnya seperti gila...." "Hushh...." "Aku tidak membohong, Suheng. Seringkali aku mendengar Ibuku mengigau memanggil nama Ayah dan menangis dalam tidur. Ibu selalu gelisah kalau tidur dan biarpun dia hendak menyembunyikannya dariku, namun aku tahu betapa Ibu menderita sengsara batin yang hebat, menderita rindu yang menghancurkan batinnya...." Dara itu kelihatan berduka sekali, kemudian berkata lagi, "Suheng, apa sih perlunya orang saling mencinta kalau akibatnya hanya mendatangkan rindu dan kecewa?" "Itu bukan cinta, Sumoi, Ahh, kau takan mengerti dan semua orang takan mengerti karena sudah lajim menganggap hawa nafsu sama dengan cinta. Hawa nafsu menuntut pemuasan, menuntuk kesenangan dan ingin memilikinya untuk diri sendiri. Dan semua inilah yang menimbulkan kecewa dan duka, Sumoi." Sumoinya terbelalak. "Aihh, kau bicara seperti kakek-kakek saja! Dari mana memperoleh filsafat macam itu, Suheng?" Karena tertarik, dara yang mudah ini sudah melupakan kedukaanya dan menjadi riang gembira lagi, matanya memandang suhengnya dengan berseri penuh godaan. "Dari... hemm, kukira dari kesadaran, Sumoi. Bukan filsafat. Aku sudah kenyang membaca filsafat, dan apa artinya filsafat kalau hanya untuk diafal? Tidak ada bedanya dengan benda mati yang hanya diulang-ulang, dipakai perhiasan, dijadikan alat untuk terbang melayang diawang-awang yang kosong. Terlalu banyak kitab kubaca sudah, dan mungkin juga karena memperhatikan keadaan mendatangkan kesadaran." Dia menarik napas panjang. "Suheng, kau tadi mencela aku yang kaukatakan murung. Akan tetapi aku juga seringkali melihat engkau seperti orang berduka. Apakah kau tidak senang tinggal di Pulau Es?" "Aku suka sekali tinggal di sini, Sumoi. Kurasa jarang terdapat tempat seindah ini, masyarakat setenteram ini. Akan tetapi, kalau aku melihat hukuman-hukuman yang dibuang ke Pulau Neraka..." "Aih, hal itu bukan urusan kita, Suheng. Bukankah kau tadi juga mengatakan bahwa urusan antara Ayah dan Ibu bukan urusanku? Maka urusan hukuman itu pun sama sekali bukan urusan kita." Kau keliru, Sumoi. Urusan Ayah Bundamu memang merupakan urusan pribadi mereka. Akan tetapi urusan orangorang terhukum adalah urusan umum, urusan kita juga. Aku merasa tidak senang sekali dengan adanya peraturan itu. Aku akan berusaha untuk mengingatkan Suhu...." "Tapi Ayah seorang Raja, Suheng!" "Raja pun manusia juga." "Tapi Raja hanyalah menjalankan hukum yang berlaku, Suheng." "Hukum pun buatan manusia. Benda Mati!" Tiba-tiba terdengar suara tambur dipukul. Sejenak dua orang muda-mudi itu memperhatikan dan wajah Sin Liong menjadi muram. "Nah, ada lagi sidang pengadilan yang akan menjatuhkan hukuman. Entah siapa lagi sekarang yang melakukan pelanggaran. Mari kita lihat, Suheng!" Sin Liong digandeng tangannya oleh Swat Hong yang menariknya ke arah bangunan di samping istana, bangunan yang dijadikan ruang sidang pengadilan di mana dijatuhkan hukuman terhadap mereka yang melakukan pelanggaran-pelanggaran. Ketika mereka tiba di situ, banyak sudah penghuni Pulau Es yang menonton diluar ruangan, dan tentu saja dua orang muda-mudi itu mudah untuk memasuki ruang sidang dan duduk di atas kursi yang berderet di pinggiran. Ruangan itu luas sekali, lantainya halus dan bersih. Isi ruang hanyalah sebuah meja panjang dan di belakang meja panjang ini terdapat lima buah kursi dan di kanan kiri, di pinggir juga terdapat kursi-kursi, sedangkan di depan meja, di bagian tengah tetap kosong. Pada saat Sin Liong dan Swat Hong tiba di ruangan itu, di belakang meja telah duduk hakim, yaitu seorang kakek tua keluarga kerajaan yang biasa bertugas sebagai hakim, sedangkan di sebelah kanannya, di kursi kebesaran, tampak duduk Han Ti Ong sendiri bersama permaisurinya. Hal ini merupakan keanehan karena biasanya raja hanya datang tanpa permaisurinya dan duduk bersama dengan para pangeran lain.

0 komentar:

Posting Komentar