Perahu
kecil itu terayun-ayun kekanan kiri seperti menari-narikarena tidak dikuasai oleh layar maupun dayung,
melainkan sepenuhnya dikuasai oleh air laut yang tenang. Dua orang yang duduk diperahu itu seperti dua buah
arca, diam dan pandang mata mereka melayang jauh ke kaki langit, melayang-layang di permukaan laut seperti
mencari-cari sesuatu yang hilang. Dan memang fikiran Sin Liong dan Swat Hong, dua orang di perahu itu, sedang
mencari-cari jawaban pertanyaan hati mereka sendiri. pulau Es hanya kelihatan sebagai sebuah garis mendatar
putih dekat kaki langit. mereka berangkat pagi-pagi meninggalkan Pulau Es, setelah tiba di tempat jauh yang
sunyi ini, mereka menggulung layar dan membiarkan perahu mereka dibuai gelombang kecil. Mereka sudah lama
berdiam diri seperti itu, dibuai oleh lamunan masingmasing, lamunan yang timbul karena keadaan di Pulau Es yang
menyedihkan. "Suheng..." Suara panggilan Swat Hong ini lirih saja, namun karena sejak tadi mereka tidak
mendengar suara apa-apa, maka suara panggilan ini seolah-olah mengandung getaran hebat yang memenuhi seluruh
ruang kesunyian. Sin Liong menoleh dan dia pun seolah-olah baru sadar dari alam mimpi. "Hemmmm...?" jawabannya
masih ragu-ragu. "Suheng mengajakku meninggalkan pulau dan setelah tiba disini, mengapa suheng tidak lekas
bicara melainkan melamun saja?" "Aku terpesona akan keindahan alam yang sunyi ini, Sumoi...." "Aku pun tadi
terseret, Suheng. Akan tetapi melihat batu karang menonjol di depan itu, aku tersadar. Apakah aku akan menjadi
setua batu karang itu yang kerjanya hanya termenung di tempat sunyi! Suheng, kau tadi bilang bahwa untuk
membicarakan urusan kita, engkau mengajakku ketengah laut. Mengapa? "Engkau sudah mengerti sendiri. Fitnah yang
dilontarkan kepada kita, bahwa ada terjadi sesuatu yang rendah di antara kita, membuat aku merasa tidak enak
kalau mengajak kau bicara berdua saja di tempat sunyi di atas pulau itu. Dapat menimbulkan prasangka yang
bukan-bukan. Karena itulah maka kuajak kesini, agar kita dapat bicara dengan tenang dari hati ke hati tanpa ada
yang mendengar dan melihat. Pula, kuharap ditempat yang sunyi ini, yang membuat kita seolah-olah berada di
dalam alam lain, kita akan menemukan ilham..." Swat Hong tertawa. Timbul kembali kegembiraan dara ini setelah
dia tidak berada di Pulau Es yang membuat dia selama ini ikut muram dan berduka. "Wah, Suheng! Kadang-kadang
kau bicara seperti seorang pendeta saja! Apa sih yang akan dibicarakan sampai-sampai kau membutuhkan ilham
segala?" "Mari kita bicara tentang cinta, Sumoi." Wajah dara muda jelita itu terheran, matanya memandang
terbelalak dan perlahan-lahan kedua pipinya menjadi agak kemerahan. "Aihh... apa maksudmu, Suheng?" Sin Liong
menarik napas panjang, dan menyentuh tangan sumoinya. "Perlukah aku menjelaskan lagi? Suhu, Ayahmu sedang
dilanda duka dan kedukaannya yang terakhir sekali ini adalah menyangkut hubungan antara kita. Suhu menghendaki
agar kita berjodoh, dan kita secara jujur telah menyatakan tidak setuju akan kehendaknya itu. Dan memang kita
benar, Sumoi. Perjodohan tidak bisa ditentukan begitu saja, karena perjodohan merupakan hal gawat bagi
seseorang, akan melekat selama hidupnya. Akan tetapi bagaimana kita tahu kalau hal ini tidak kita bicarakan
secara terus terang? Maka, agar kita dapat mengambil keputusan yang tepat tentang kehendak Suhuini, marilah
kita bicara tentang cinta!" "Hemm, bicaralah. Aku tidak tahu apa-apa," Kata Swat Hong yang tentu saja merasa
malu untuk bicara tentang hal yang asing baginya itu. "Swat Hong, apakah kau cinta kepadaku?" Dara itu makin
merah mukanya. Tak disangkanya bahwa suhengnya akan bertanya secara langsung seperti itu sehingga dia merasa
seperti diserang dengan tusukan pedang yang amat dhasyat! Dia mengangkat muka memandang suhengnya dengan
bingung. "Aku...aku...ah, aku tidak tahu..." dan dia menundukan mukanya. "Sumoi, sudah sering aku melihat
sikapmu yang aneh. Engkau marah-marah ketika kita berada di Pulau Neraka. Engkau cemburu melihat Soan Cu
berbuat baik kepadaku, dan kau tidak senang melihat Kongkongnya hendak menjodohkan Soan Cu dengan aku. Sumoi,
aku tidak tahu apa cemburu itu tandanya cinta? Akan tetapi, jawablah demi pemecahan persoalan yang kita hadapi
ini. Cintakah kau kepadaku?" Disinggung-singgung tentang sikapnya di Pulau Neraka yang jelas menadakan rasa
cemburunya, Swat Hong menjadi makin malu. Dicobanya untuk menjawab, akan tetapi begitu dia bertemu pandang
dengan suhengnya, dia menjadi makin malu dan ditutupinya mukanya dengan kedua tangan, kepalanya
digeleng-gelengkan dan dia berkata, "Aku tidak tahu...aku tidak tahu... kau saja yang bicara, Suheng. Kau saja
yang menjawab apakah kau cinta padaku atau tidak!" Dan kini dia menurunkan kedua tangannya, sepasang matanya
yang bening itu kini dengan penuh selidik menatap wajah Sin Liong! Sin Liong menarik napas panjang. "Itulah
yang membingungkan hatiku selama ini,Sumoi. Mau bilang tidak mencintaimu, buktinya aku suka kepadamu. Akan
tetapi untuk menyatakan bahwa aku cinta padamu, sulit pula karena aku sendiri tidak tahu bagaimana sesungguhnya
cinta itu. Apakah seperti cintanya suhu terhadap ibumu yang berakhir dengan peristiwa menyedihkan itu? ataukah
seperti cintanya Ibumu kepada Suhu? Ataukah seperti cintanya The Kwat Lin dan suhu? Hemm, mengapa semua cinta
itu demikian palsu dan mengakibatkan hal yang amat menyedihkan? Aku menjadi ngeri melihat cinta macam itu,
Sumoi." Swat Hong memandang heran. "Ahhh, aku tidak pernah memikirkan cinta seperti yang kau kemukakan ini,
suheng." "Mudah saja. Lihat saja apa yang terjadi antara Suhu, Ibumu, dan The Kwat Lin. Seperti itukah cinta?
Hanya mendatangkan cemburu, kemarahan, kebencian, dan permusuhan hebat. Apakah itu cinta? Kalau seperti itu,
aku ngeri dan aku tidak berani berlancang mulut menyatakan cinta kepada siapapun, Sumoi. Karena, kalau hanya
seperti itu akibatnya, maka cinta yang kunyatakan hanyalah merupakan kembang bibir elaka, hanya cinta palsu
belaka. Bayangkan saja, Sumoi. Di antara kita berdua, sejak kecil sampai sekarang menjelang dewasa, tidak
pernah ada pertentangan dan tidak pernah ada urusan apa-apa. Akan tetapi, setelah kita berdua mengaku cinta,
lalu timbul soal-soal ceburu, kecewa dan lain-lain. Apalagi setelah menjadi suami istri...hemm, betapa
mengerikan kalau melihat contoh yang kita saksikan di Pulau Es ini." Swat Hong menunduk dan tak mampu menjawab.
Persoalan yang diajukan oleh Sin Liong itu terlampau berat baginya, sulit untuk dimengerti. Baginya, sebagai
seorang wanita, dia haus akan cinta kasih, akan perhatian, akan pemanjaan dari seorang pria yang menyenangkan
hatinya, seperti suhengnya ini. Akan tetapi, setelah mendengar uraian Sin Liong tentang cinta yang diambilnya
peristiwa di Pulau Es sebagai contoh, dia pun ngeri dan tidak berani menyatakan perasaanya itu. "Aku tidak
tahu, Suheng.., aku tidak mengerti. Terserah kepadamu sajalah..." Sin Liong kembali menarik napas panjang. Dia
memang sudah mengambil keputusan di dalam hatinya bahwa dia harus membalas budi kebaikan suhunya yang sudah
berlimpah-limpah diberikan kepadanya. Satu-satunya jalan untuk membalas budi hanya dengan menyenangkan hati
suhunya yang sedang berduka itu. Dia harus menerima keputusan suhunya, yaitu menerima menjadi jodoh Swat Hong!
Akan tetapi dia tidak boleh membuat dara itu menderita dengan keputusannya ini, maka dia harus tahu terlebih
dahulu bagaimana pendirian Swat Hong. Dan sekarang, dara itu sama sekali tidak berani mengaku tentang cinta.
"Sumoi, sekarang begini saja. Andai kata aku memenuhi permintaan suhu, yaitu mau menerima ikatan jodoh
denganmu, menjadi calon suamimu, bagaimana dengan pendapatmu?" Swat Hong menunduk dan menggigit bibirnya.
Akhirnya dia dapat berbisik. "Aku tidak tahu, terserah kepadamu dan kepada ayah..." "Maksudku, apakah engkau
merasa terpaksa? Apakah hal ini menyenangkan hatimu? Sumoi, harap kau suka berterus terang. Kalau kau, seperti
aku, tidak bisa mengaku cinta begitu saja, setidaknya kukatakan apakah ikatan jodoh ini tidak menimbulkan
penyesalan bagimu?" Swat Hong tidak menjawab, hanya menggeleng kepala. "Kalau begitu, andaikata aku menerima,
engkau pun akan menerimanya dengan senang hati?" Swat Hong mengangguk! "Kalau begitu, mari kita pergi menghadap
Ayahmu. Aku akan menerima permintaannya, karena betapapun juga, kita harus menghiburnya, menyenangkan hatinya.
Aku telah berhutang banyak budi dari suhu, maka kalau dengan penerimaan ini aku dapat sekedar membalas budinya,
aku akan merasa senang." Sin Liong mengambil dayung perahu itu dan menggerakan dayung. "Suheng, kau menerima
karena kasihan kepada Ayah? jadi kau...kau tidak cinta kepadaku?" "Sumoi aku tidak berani berlancang mulut
mengaku cinta. Aku telah banyak menyaksikan cinta kasih yang kuragukan kemurniannya. Aku khawatir bahwa sekali
cinta diucapkan dengan mulut, maka itu bukanlah cinta lagi. Aku tidak tahu, apakah cinta itu sesungguhnya, maka
aku tidak berani lancang mengaku, Sumoi..." "Ahhh...!!" Jeritan Swat Hong ini adalah campuran dari rasa kecewa
dan juga kekangetan hebat, matanya terbelalak memandang kedepan. Melihat wajah Sumoinya, Sin Liong cepat
menengok dan pada saat itu terdengar ledakan dahsyat dibarengi dibarengi dengan cahaya kilat yang seolah-olah
membakar dunia. Tampak oleh Sin Liong yang terbelalak memandang itu air muncrat tinggi sekali disusul asap dan
api, muncul dari permukaan laut antara perahunya dan Pulau Es. Kedua orang muda yang terbelalak dengan muka
pucat itu tidak berkesempatan untuk terheran lebih lama lagi karena tiba-tiba karena perahu mereka dilontarkan
keatas, dalam saat lain perahu itu telah dipermainkan oleh gelombang yang mendahsyat dan menggunung. Suara
mengguruh memenuhi telinga mereka dan keheningan yang baru saja mencekam lautan itu kini terisi dengan
kebisingan yang sukar dilukiskan. Sin Liong berteriak, "Sumoi, bantu aku! Jangan sampai perahu terguling!"
keduanya mengerahkan tenaga, menggunakan dayungnya untuk mengatur keseimbangan perahu. Namun, kekuatan
gelombang air laut yang amat dahsyat itu mana dapat ditahan oleh tenaga manusia, biarpun kedua orang pemuda itu
adalah tokoh-tokoh Pulau Es sekalipun? Perahu mereka menjadi permainan gelombang, dilontarkan tinggi ke atas,
disambut dan diseret kebawah, seolah-olah tangan malaikat maut atau ekor naga laut yang menyeret perahu ke
dasar laut, akan tetapi tiba-tiba dihayun lagi keatas, ditarik ke kanan, didorong kekiri sehingga kedua orang
murid Raja Han Ti Ong itu menjadi pening dan setengah pingsan! Mereka tidak ingat akan waktu lagi, tidak tahu
berapa lama mereka diombang-ambingkan air laut, tidak tahu lagi berapa jauh mereka terbawa ombak, dan mereka
tidak sempat menggunakan pikiran lagi.
Senin, 12 November 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar