"Dess...! Aungghh...!" Tubuh A Kiu terlempar bergulingan dan rebah tak bernyawa lagi, dari mulut, hidung dan
telinganya mengalir darah. Hebat sekali pukulan jarak jauh yang di lakukan permaesuri itu, mengenai kepala A
Kiu yang tentu saja tidak kuat menahannya. Hakim dan jaksa saling pandang, sedangkan Raja menegur
Permaesurinya, "Kau terlalu lancang...." "Apakah aku harus diam saja kalau seorang rendah macam dia menghina
putera kita?" Permaesuri membantah dengan suara agak ketus. Raja diam saja dan menarik nafas panjang. Dia
merasa bingung dan berduka sekali harus menghadapi perkara ini, lalu memberi isyarat kepada hakim sambil
berkata, "Lanjutkan." Hakim menelan ludah beberapa kali, kemudian berkata lantang, " Saksi utama yang mejadi
pelaku perjinahan telah terbunuh karena berani menghina Pangeran. Akan tetapi dia mengaku telah berada di kamar
itu, maka sudah jelas dosa yang dilakukan oleh Liu Bwee. Karena itu sudah adil kalau dia harus dijatuhi hukuman
berat. Liu Bwee, pengadilan memutuskan hukuman buang ke Pulau Neraka kepadamu!" "Ibuuuu..!!" Swat Hong meronta
dan melepaskan diri dari Sin Liong, meloncat dan menubruk ibunya. "Sssst, tenanglah, Hong-ji...." ibunya
terbisik dengan sikap masih tenang saja, sungguhpun wajahnya kelihatan makin berduka. "Tenang? Tidak! ibu tidak
boleh dihina sampai begini!" Swat Hong lalu bangkit berdiri, menghadapi ayahnya dan berkata lantang, "ibuku
telah dijatuhi hukuman tanpa bukti dan saksi yang jelas. Akan tetapi keputusan telah dijatuhkan dan saya tidak
rela melihat ibu dibuang ke Pulau Neraka. Saya sebagai anak tunggalnya, yang takkan mampu membalas budinya
dengan nyawa, saya yang akan mewakilinya, memikul hukuman itu. Saya yang akan mejadi penggantinya ke Pulau
Neraka, maka harap Sribaginda bersikap bijaksana, membiarkan ibu yang sudah mulai tua ini menghabiskan usianya
di Pulau Es. Ibu, selamat tinggal!" "Hong-ji...!" ibunya memekik, akan tetapi Swat Hong sudah meloncat dan lari
keluar dari tempat itu dengan cepat. Sin Liong memandang dengan alis berkerut. Tak disangkanya hal yang sudak
dikhawatirkannya akan terjadi, sesuatu yang tidak menyenangkan, suatu yang akan meledak, ternyata sehebat ini.
"Hong-ji... ah, Hong-ji, Anakku...!" Liu Bwee tak dapat menahan lagi tanggisnya. Dia maklum bahwa untuk
mengejar anaknya dia tidak mungkin dapat karena kepandaian puterinya itu sudah tinggi sekali, juga dia sebagai
seorang pesakitan, tentu saja tidak berani melanggar hukum dan lari dari tempat itu. "Aduh, anakku... Swat
Hong... Swat Hong... apa yang mereka lakukan atas dirimu...?" ibu yang hancur hati ini meratap. Hakim menjadi
bingung dan beberapa kali menoleh kearah Raja seolah-olah hedak minta keputusan Han Ti Ong. Raja ini menggigit
bibir, jengkel dan marah karena tak disangkanya bahwa urusan akan berlarut-larut seperti ini. Ketika dia
menerima laporan tentang istri pertamanya, Liu Bwee, yang berjinah dengan seorang pelayan muda, hatinya panas
dan marah sekali. Akan tetapi dia masih hendak membawa perkara ini kepengadilan agar diambil keputusan yang
seadil-adilnya. Siapa mengira terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan hatinya. Permaisurinya membunuh pelayan
muda, kemudian kini Swat Hong membela ibunya, bahkan menggantikan ibunya "membuang diri" ke Pulau Neraka. maka
kini,melihat betapa hakim menjadi bingung dan minta keputusannya, dia memukulkan kepalan kanan ke telapak kiri
sambil berkata, " Sudahlah, sudahlah! Biar kupenuhi permintaan Swat Hong. Anak yang keras kepala itu sudah
menggantikan ibunya ke Pulau Neraka. Sudah saja! Aku perkenankan Liu Bwe tinggal terus disini!" Setelah berkata
demikian, dia menggandeng tanggan Bu Ong dan permaisurinya, bangkit berdiri dan hendak meninggalkan tempat yang
tidak menyenangkan itu. Akan tetapi Liu Bwee juga bangkit berdiri dan wanita ini berkata lantang, sambil
menatap wajah suaminya dengan mata tajam. "Biarpun anakku telah menebus dosa yang tidak kulakukan, dan aku
telah diperbolehkan tinggal di sini, akan tetapi apa artinya hidup disini bagiku setelah anakku pergi ke Pulau
Neraka? Tidak, aku tidak akan sudi tinggal di sini lagi. Aku mulai saat ini tidak menganggap diriku sebagai
penghuni Pulau Es. Aku juga mau pergi dari sini!" Setelah berkata demikian, Liu Bwee lalu meloncat dan pergi.
Setelah dia bukan pesakitan lagi, setalah dia bukan terhukum, dia berani pergi, bahkan dengan sikap tidak
menghormat lagi kepada Raja yang pernah menjadi suami dan pujaan hatinya selama bertahun-tahun itu. "Hmm,
sesukamulah!' kata Han Ti Ong perlahan dan dengan wajah muram raja ini memasuki istana bersama permaisuri dan
Pangeran Bu Ong. Sampai ruangan persidangan itu kosong dan mayat A Kiu dibawa pergi, Sin Liong masih duduk di
situ. Di dalam hatinya, dia merasa menyesal melihat sikap Raja Han Ti Ong, gurunya yang di cintainya itu.
Tahulah dia bahwa perubahan pada diri gurunya itu terutama sekali terjadi karena hadirnya The Kwat Lin yang
kini telah menjadi permaisurinya. Diam-diam dia merasa menyesal sekali. Bukankah dia sendiri yang dahulu minta
kepada gurunya membawa pendekar wanita Bu-tong-pai itu ke Pulau Es?
Senin, 05 November 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar